Mengajarkan Koding & AI di SMK: Menjembatani Gap, Menyambut Kebijakan Baru

Pemerintah saat ini sedang mendorong Koding dan Kecerdasan Artifisial (KKA) sebagai bagian dari penguatan kurikulum di sekolah. Langkah ini sejalan dengan visi Kurikulum Merdeka yang menekankan Profil Pelajar Pancasila: bernalar kritis, kreatif, mandiri, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. KKA dipandang bukan sekadar materi teknologi, tetapi fondasi literasi digital dan berpikir komputasional yang akan menjadi keterampilan dasar abad ke-21.

Bagi SMK, kebijakan ini juga didorong untuk memperkuat pembelajaran berbasis proyek sesuai jurusan. Artinya, koding dan AI tidak diajarkan sebagai teori yang terpisah, melainkan dikaitkan dengan dunia kerja—mulai dari pertanian, perikanan, pengolahan pangan, teknik mesin, hingga pelayaran.

Namun, kita juga harus jujur bahwa implementasi kebijakan ini di lapangan tidak sesederhana yang tertulis di dokumen resmi. Banyak guru merasa bahwa koding dan AI terlalu jauh untuk kondisi sekolah mereka.

Mengapa Guru Masih Ragu?

Sebagian besar siswa SMK masih sangat awam komputer. Mereka lebih akrab dengan HP dan media sosial daripada mengetik di keyboard atau memahami alur kerja komputer. Fasilitas sekolah pun tidak selalu lengkap, apalagi jika lokasinya jauh dari pusat kota.

Guru pun tidak semuanya berlatar belakang teknologi. Wajar kalau muncul keraguan: “Bagaimana mungkin mengajarkan AI kalau murid bahkan belum lancar memakai komputer?”

Tetapi di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata. Dunia kerja bergerak sangat cepat. Otomatisasi, teknologi digital, dan AI sudah merambah ke berbagai bidang industri. Kalau siswa kita hanya menjadi pengguna pasif teknologi, mereka akan tertinggal jauh.

Jadi, pertanyaannya bukan lagi perlu atau tidak mengajarkan koding dan AI, melainkan bagaimana caranya agar sesuai dengan kondisi mereka.

Mengapa KKA Tetap Perlu Dikenalkan?

Tujuan KKA bukan menjadikan semua siswa programmer. Yang ingin dicapai adalah pola pikir logis, kemampuan memecahkan masalah langkah demi langkah, kreativitas, dan pemahaman etika teknologi. Dengan begitu, mereka tidak hanya siap menjadi pekerja terampil, tetapi juga adaptif menghadapi perubahan zaman.

Inilah alasan pemerintah mendorong literasi teknologi sebagai kompetensi dasar. Koding dan AI menjadi sarana untuk menyiapkan siswa yang tidak sekadar melek teknologi, tetapi juga mengerti logika di baliknya dan mampu memanfaatkannya secara bijak.

Gap yang Harus Dijembatani

Tentu, ada jurang yang harus kita akui. Murid-murid belum terbiasa memecah masalah secara sistematis, sehingga algoritma terasa asing. Motivasi belajar pun sering lemah karena mereka belum melihat manfaat langsung. Guru pun banyak yang masih belajar dan belum percaya diri.

Karena itu, kebijakan KKA tidak dimaknai sebagai kewajiban langsung mengajarkan bahasa pemrograman kompleks. Yang ditekankan adalah pondasi: rasa ingin tahu, logika berpikir, dan pemahaman dasar teknologi yang kontekstual.

Strategi Bertahap: Lihat, Latih, Lanjutkan

Pendekatan sederhana yang bisa kita gunakan adalah strategi 3L: Lihat, Latih, Lanjutkan.

Langkah pertama, Lihat, membangkitkan rasa penasaran. Mulailah dari hal yang dekat dengan keseharian siswa: mengapa TikTok tahu selera mereka, bagaimana kamera HP mengenali wajah, atau bagaimana Google Translate bekerja. Dengan diskusi santai, mereka akan sadar bahwa AI bukan sihir, tetapi sudah ada di sekitar mereka.

Setelah itu, Latih pola pikir komputasional tanpa komputer. Permainan seperti “algoritma manusia”—menulis langkah super detail untuk membuat mie instan lalu membiarkan teman berperan sebagai komputer—bisa membantu mereka memahami bahwa komputer hanya mengikuti instruksi jelas.

Baru kemudian Lanjutkan ke teknologi yang lebih konkret. Gunakan koding visual seperti Scratch atau Code.org agar siswa bisa langsung membuat animasi atau game sederhana tanpa bingung syntax. Jika sudah lebih nyaman, kenalkan AI sederhana seperti Google Teachable Machine untuk mengenali benda di sekitar kelas.

Membuatnya Relevan dengan Jurusan

Untuk SMK, relevansi adalah kunci.

  • Di pertanian, siswa bisa melatih AI mengenali daun sehat dan berpenyakit dari foto.
  • Di pengolahan pangan, AI bisa membedakan buah matang dan mentah atau mengenali label makanan.
  • Di perikanan, AI bisa menghitung populasi ikan melalui kamera atau mengenali jenis ikan.
  • Di teknik permesinan, siswa bisa merekam suara mesin normal dan rusak, lalu melatih AI membedakannya.
  • Di pelayaran, AI bisa membantu memprediksi cuaca buruk atau navigasi rute laut

Dengan cara ini, mereka langsung melihat manfaat nyata: “Ternyata AI bisa membantu pekerjaan di bidangku!”

Namun, Ada Risiko: AI Bisa Membuat Malas Berpikir

Di balik semua peluang, kita juga harus waspada. AI adalah pisau bermata dua. Jika digunakan tanpa bimbingan, ia justru bisa mematikan daya pikir kritis. Siswa mungkin hanya bergantung pada jawaban instan dari chatbot tanpa mau memahami prosesnya. Guru pun bisa tergoda untuk menyerahkan semua materi pada AI, sehingga proses pembelajaran menjadi dangkal.

Inilah tantangan baru: bagaimana mengajarkan AI tanpa membuat manusia berhenti berpikir.

Karena itu, setiap aktivitas AI harus diikuti diskusi reflektif. Misalnya, setelah Teachable Machine menebak foto, tanyakan:

  • “AI ini belajar dari apa?”
  • “Kalau datanya salah, apa yang terjadi?”
  • “Apakah AI selalu benar?”
  • “Bagaimana kalau AI dipakai untuk tujuan yang salah?”
  • “Apa yang masih lebih baik dikerjakan manusia dibanding AI?”

Dengan begitu, murid belajar bahwa AI hanyalah alat, bukan pengganti logika dan penalaran mereka.

Peran Orang Tua dan Masyarakat

Tidak hanya guru dan siswa, orang tua dan masyarakat juga perlu dilibatkan. Banyak orang tua awam tentang AI, bahkan sebagian takut atau salah paham. Mereka melihat anak bermain HP, lalu menganggap semua teknologi sama saja.

Padahal, jika orang tua memahami bahwa AI bisa menjadi sarana belajar, mereka akan lebih mendukung. Sekolah bisa mengadakan sesi sederhana untuk orang tua: mengenalkan apa itu AI, manfaat dan risikonya, serta bagaimana mendampingi anak agar tidak sekadar konsumtif.

Masyarakat juga perlu diajak melihat bahwa pengenalan AI di sekolah bukan sekadar tren, tapi investasi masa depan. Bahkan industri lokal bisa dilibatkan sebagai contoh praktik: petani bisa menunjukkan sensor sederhana untuk pertanian, bengkel bisa menunjukkan teknologi pendeteksi kerusakan mesin, nelayan bisa berbagi cerita tentang aplikasi cuaca berbasis AI. Dengan begitu, ekosistem belajar menjadi lebih hidup dan nyata.

Sejalan dengan Kebijakan, Tapi Tetap Kritis

Langkah-langkah kecil seperti ini sebenarnya sudah sejalan dengan semangat kebijakan KKA. Pemerintah tidak menuntut siswa langsung menjadi ahli AI, tetapi mengajak guru memulai dari pengenalan logika, aktivitas sederhana, dan proyek kecil berbasis konteks lokal.

Namun sebagai guru, kita juga punya tanggung jawab menjaga agar penggunaan AI tidak membuat pembelajaran dangkal. AI harus menjadi sarana untuk menambah wawasan, bukan jalan pintas untuk melewati proses belajar.

Dan supaya murid tidak kehilangan arah, perlu ada dukungan dari orang tua di rumah dan contoh nyata dari masyarakat. Dengan begitu, siswa melihat bahwa teknologi bukan sekadar untuk hiburan, tetapi benar-benar bermanfaat untuk kehidupan dan pekerjaan mereka kelak.

Guru Tidak Harus Jadi Pakar

Perlu ditekankan, guru tidak perlu langsung menjadi pakar AI. Tugas kita adalah membuka jalan, menumbuhkan rasa ingin tahu, membimbing latihan logika, dan mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat. Bahkan jika guru belajar bersama murid, itu sudah menjadi budaya eksplorasi yang positif.

Kalau murid belum bisa memakai komputer, kita mulai dari latihan logika manual. Kalau internet terbatas, pilih aktivitas offline. Yang penting bukan langsung sempurna, tapi mau mulai—dan mau tetap kritis.

Langkah Kecil untuk Memulai

Sebagai contoh, dalam dua pertemuan awal kita bisa mengajak siswa mendiskusikan contoh AI di sekitar mereka, lalu memainkan “algoritma manusia”. Pertemuan berikutnya bisa mencoba koding visual di Scratch. Kalau fasilitas memungkinkan, lanjutkan dengan Teachable Machine agar mereka merasakan bagaimana AI “belajar” dari data—namun tetap ditekankan bahwa hasil AI tidak selalu benar dan butuh penalaran manusia.

Sekolah bisa mengundang orang tua untuk melihat hasil proyek ini, agar mereka ikut memahami prosesnya, bukan hanya melihat anak “main komputer”.

Menutup Jurang, Membuka Jalan

Koding dan AI bukan materi rumit yang harus ditakuti. Ini adalah cara membekali murid dengan pola pikir logis, kreatif, dan adaptif—keterampilan yang sejalan dengan Profil Pelajar Pancasila sekaligus mendukung kebijakan KKA pemerintah.

Namun, AI juga membawa risiko jika disalahgunakan: ia bisa membuat manusia malas berpikir, hanya mengandalkan jawaban instan, dan dangkal pemahamannya. Karena itu, pengenalan AI harus selalu diimbangi dengan pendekatan kritis, keterlibatan orang tua, dan dukungan masyarakat.

“Langkah kecil hari ini membuka peluang besar bagi masa depan mereka—selama kita tetap memegang kendali, bukan menyerahkannya sepenuhnya pada mesin.”

Mari kita mulai pelan-pelan, dengan semangat, tapi tetap kritis. Karena implementasi KKA bukan sekadar tuntutan kurikulum, tetapi jembatan agar murid kita bisa menapaki masa depan dengan percaya diri dan tetap menjadi manusia yang berpikir.

Oleh: Junaedi Ghazali, SS (Guru SMKN 2 Ketapang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *