“Nenek Pemulung”

Sepulang sekolah, Riduan tidak langsung pulang. Langkahnya terasa berat saat dia berjalan menuju rumah. Matanya terus tertuju pada sosok nenek pemulung yang sedang mengais botol bekas, kaleng, dan kardus dari tempat sampah tetangganya. Tangan kurus nenek itu bergerak cepat meski tubuhnya sudah renta, dengan wajah keriput yang penuh tekad.

“Ada botol, kaleng, atau kardus bekas, Nak?” tanya nenek itu saat dia mendekati rumah Riduan, suaranya serak tapi ramah. Riduan memandanginya sejenak, tak berkata apa-apa, lalu berbalik masuk tanpa memberi jawaban. Baru setelah nenek itu menjauh, Riduan akhirnya masuk ke rumah.

Riduan tidak suka pada nenek pemulung itu. Dia sering berada di sekitar rumah, mengais sampah, tapi yang paling mengganggu Riduan adalah cara nenek itu berbicara tentang dirinya kepada orang lain. Nenek itu selalu mengatakan bahwa Riduan baik dan sopan padanya, padahal kenyataannya, Riduan jarang memedulikannya, dan pujian yang diberikan nenek justru membuatnya merasa tidak nyaman, seolah-olah nenek itu mengubah kenyataan menjadi sesuatu yang tidak benar.

Perasaan tidak nyaman itu, seiring waktu, berubah menjadi sebuah kebencian yang diam-diam. Suatu sore yang hujan deras, kekesalan Riduan memuncak. Hujan deras membuat nenek pemulung itu mencari tempat berlindung, dan di mana dia berteduh? Di garasi rumahnya. Ketika hujan reda, Riduan mendapati garasinya penuh dengan sampah plastik yang berserakan. Rupanya nenek itu memilah-milah hasil mulungnya sembarangan. Dengan marah, Riduan membersihkan garasinya.

Kata-kata tetangga tentang nenek itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Mereka selalu berbicara dengan nada kasihan. “Nenek itu tinggal sendirian di rumahnya yang reyot,” kata mereka. “Kasihan sekali, dia tidak punya siapa-siapa.” Beberapa teman sekolahnya bahkan mengatakan bahwa nenek itu baik hati, sering membantu orang lain meski hidupnya sulit.

Namun, Riduan tetap tidak bisa merasa simpati. Kekacauan di garasi dan kehadiran nenek yang terus-menerus membuat rasa kesalnya bertahan.

Sore Sabtu itu, Riduan punya rencana lain. Dia sudah berjanji untuk bersepeda bersama teman-temannya ke taman. Meski hujan baru saja reda, dia tak sabar ingin pergi.

“Kamu mau ke mana?” tanya ibunya saat melihat Riduan bersiap dengan sepedanya.

“Mau bersepeda dengan teman-teman, Bu,” jawab Riduan sambil mengenakan jaketnya.

“Masih gerimis, Riduan,” ibunya memperingatkan, khawatir.

“Tapi sudah janji, Bu. Kami sudah rencanakan ini,” bantah Riduan.

“Baiklah, tapi hati-hati. Jalanan masih licin karena hujan baru saja reda. Jangan kebut-kebutan, dan tetap di pinggir jalan,” nasihat ibunya.

Riduan hanya mengangguk asal dan segera mengeluarkan sepedanya. Begitu dia keluar dari rumah, dia langsung memacu sepedanya dengan kecepatan tinggi. Dia tak ingin ketinggalan dari teman-temannya yang menunggunya di taman. Semakin jauh dari rumah, dia semakin mempercepat laju sepedanya, mengabaikan peringatan ibunya tentang jalanan yang licin.

Ketika hampir sampai di rumah Aisyah, tempat teman-temannya menunggu, Riduan melihat seekor kucing melintas di tengah jalan.

“Brak!”

Riduan terjatuh dengan keras. Sepedanya terguling ke samping, dan tubuhnya menghantam aspal yang masih basah. Kakinya berdarah, dan tangannya terluka. Gang itu sepi karena gerimis masih turun. Riduan mencoba berdiri, namun rasa sakit membuatnya tak mampu. Kakinya gemetar, dan darah terus mengalir dari lututnya.

Tiba-tiba, seseorang mendekatinya. Riduan mendongak dan terkejut saat melihat bahwa orang yang datang menolongnya adalah nenek pemulung. Riduan terdiam, tak mampu berkata-kata. Rasa sakit yang menjalar di tubuhnya membuatnya hanya bisa memandang nenek itu tanpa kata.

“Jangan berdiri dulu, Nak. Kaki kamu terluka dan mungkin keseleo, jadi harus diurut dulu. Duduk saja, biar nenek urut sedikit,” kata nenek itu dengan lembut.

Setelah mengurut sebentar, nenek itu mengeluarkan selembar kain dari keranjang rotannya. Kain yang terlihat kusut tapi bersih itu dibagi dua, lalu digunakan untuk membalut luka di kaki Riduan agar darah tidak terus mengalir. “Coba berdiri pelan-pelan,” kata nenek, membantu Riduan bangun. Meskipun terasa sakit, Riduan bisa berdiri walaupun kakinya masih terasa kaku.

“Lain kali hati-hati kalau naik sepeda, Nak. Jangan kebut-kebutan, apalagi kalau jalanan masih licin seperti ini. Nenek pamit dulu ya, mau cari barang-barang bekas lagi. Hati-hati di jalan pulangnya.”

Riduan masih terdiam. Hatinya bergejolak. Nenek pemulung itu, yang selama ini dia abaikan, telah menolongnya tanpa pamrih. Dia merasa malu pada dirinya sendiri. Semua kebencian dan kekesalan yang dia rasakan selama ini tiba-tiba terasa tidak berarti.

Nenek itu sudah berjalan menjauh, tapi Riduan tetap berdiri di tempatnya. Ada rasa sesal yang menggelayuti dadanya. Dia ingin mengucapkan terima kasih dan meminta maaf atas sikapnya selama ini, namun kata-kata itu tidak keluar.

Riduan tahu, suatu hari nanti dia harus mengumpulkan keberanian untuk meminta maaf dan mengungkapkan rasa terima kasihnya. Tapi untuk saat ini, dia hanya bisa berdiri diam, merenungkan kebaikan yang baru saja dia terima dari seseorang yang selama ini dia pandang sebelah mata.

Oleh : Muhammad Riduan (Siswa Kelas X TKR A)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *